Pada Jum’at sore di bulan November 2005, sebuah pemandangan istimewa (bahkan bisa dikatakan luar biasa) terjadi di Jl. Cikapayang, tepatnya di bawah jembatan layang Pasupati. Ratusan orang beragam usia dan juga sepeda dari berbagai jenis dan merek berkumpul bersama dalam rangka mengkampanyekan sepeda sebagai sarana transportasi yang ramah lingkungan. Adalah Akhmad Riqqi, staf pengajar di Jurusan Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, yang mencetuskan ide itu bersama beberapa kawan dan juga mendirikan Bike Commuter Bandung (BCB), sebuah kelompok sepeda yang anggotanya juga merupakan anggota dari beberapa kelompok sepeda yang sudah ada.
“Sejak BBM naik, memang banyak yang pindah ke motor. Tapi motor juga kan masih bergantung pada BBM. Kita ingin memperlihatkan sepeda bisa menjadi alternatif transportasi supaya Kota Bandung bersih,” ujar Akhmad Riqqi mengenai alasan mengapa kegiatan itu digaungkan. Apalagi, lanjutnya, ada dua faktor penting yang sangat berkaitan, yaitu akibat kenaikan harga BBM dan juga kesadaran untuk hidup sehat dengan menggunakan alat transportasi yang ramah lingkungan (karena tanpa BBM). Sepeda sebagai moda transportasi pun bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk bersekolah, kuliah, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang berkaitan. Makanya kegiatan ini memakai slogan “Bike to Work, Bike to Campus, Shared the Road”.
Pada acara itu pula tag kuning yang bertuliskan Bike to Work, Bike to Campus, dan juga Shared the Road dibagikan secara gratis pada pesepeda yang hadir. Bike tag itu juga tidak hanya dibagikan tiap Jum’at sore di Cikapayang, tetapi juga dibagikan di mana-mana oleh para pengurusnya ketika bertemu dengan para pesepeda di Bandung sebagai bentuk kampanye yang berkelanjutan. Jadi jangan heran, jika di jalan-jalan akan banyak ditemui beberapa sepeda yang memakai bike tag berwarna kuning tepat di bawah sadelnya.
Boleh dibilang, sebenarnya acara ini juga merupakan perpanjangan dari kampanye Bike to Work (B2W) yang lebih dahulu dicanangkan di Jakarta oleh Komunitas Pekerja Bersepeda Indonesia, tepatnya pada tanggal 4 Agustus 2004 di Plaza Danamon, yang dihadiri oleh 150 pesepeda. Kampanye yang diprakarsai oleh Anton (alm), Abby, Toto, Ozy, Toufik, Devin, dan kawan-kawan lainnya dari Jalur Pipa Gas (JPG) Mountain Bike itu kemudian dilanjutkan pada Bulan Agustus 2005 yang diikuti oleh 600 pesepeda, sekaligus deklarasi pembentukan B2W Indonesia. Tujuannya tidak lain agar memiliki wadah sendiri dengan tujuan yang jelas, dan sudah tentu akan lebih mudah berkembang. Pada akhirnya, kampanye ini pun mengakumulasi pada acara B2W Day di Bundaran HI pada tanggal 25 Agustus 2006 yang dihadiri sekira 1.300 pesepeda dari seluruh wilayah di Jakarta. Kampanye tersebut terbilang sukses karena menarik perhatian seluruh media cetak dan elektronik nasional.
“Mudah-mudahan kita tidak terlalu terlena dan puas,” ujar Toto Sugito yang saat ini adalah Ketua Umum B2W Indonesia, “(karena) masih banyak dan panjang sekali pekerjaan yang harus kita lakukan untuk menjadikan sepeda sebagai alat transportasi alternatif dan juga mewujudkan jalur prioritas sepeda dan fasilitasnya di kota-kota besar pada umumnya dan di Jakarta khususnya. Kesabaran dan konsistensi yang tinggi masih kita butuhkan untuk merealisasikan cita-cita kita.”
Tidak mengherankan jika ia mengungkapkan hal itu, karena sampai saat ini sepeda masih dianggap moda transportasi kelas bawah. Kendati kenyataan itu sudah ditampik dengan beberapa sepeda yang dipakai oleh penggiat B2W yang berharga di kisaran satu sampai lima juta (bahkan ada yang lebih dari sepuluh juta), juga dilihat dari profesi orang-orangnya yang rata-rata adalah eksekutif muda, tetap saja sepeda masih merupakan moda transportasi kelas bawah. Sepeda masih kalah pamor dengan motor atau mobil karena kalah dari segi kecepatan, rawan kecelakaan, tidak tahan polusi, sehingga masih dianaktirikan.
Namun kalau melihat konsep balancing, di mana ada kekurangan berarti masih ada kelebihannya, maka sepeda bagi para pemakainya tetap memiliki kelebihan yang luar biasa di tengah hiruk-pikuknya kendaraan bermotor. Ada yang mengatakan kalau hal ini adalah tantangan dan perjuangan tersendiri yang mengasyikkan, sehingga kelengkapan dalam bersepeda (penggunaan helm, sarung tangan, kacamata, masker, pakaian olahraga, sepatu, krim anti-matahari, dan lain-lain pada akhirnya adalah sesuatu yang wajib dipakai saat bersepeda) pun harus diperhatikan benar. Dan ternyata memang benar, karena banyak yang membuktikan bahwa dengan bersepeda, perjalanan dari rumah ke kantor (kendati jauh sekalipun) jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan kendaraan bermotor mana pun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya titik kemacetan terutama di Jakarta di mana bagi pesepeda bukan merupakan halangan.
Perubahan cuaca yang mendadak pun bukan menjadi halangan. Justru hujan menjadi kesenangan tersendiri bagi pesepeda yang sudah merasakannya. Ada kegembiraan yang hanya dapat dirasakan anak-anak saat hujan-hujanan, hingga pada akhirnya ada istilah ‘bebek-bebekan’ di kalangan B2W yang berarti bersepeda hujan-hujanan. Banjir besar yang pernah melanda Jakarta pun bukan halangan yang berarti bagi para pesepeda, karena mereka pun tetap melanjutkan aktivitasnya kendati jalan-jalan di beberapa titik sudah ditutup karena ketinggian air yang sudah tidak bisa ditolerir oleh kendaraan bermotor. Sepeda sebagai kendaraan 2x2 (dua dengkul dan dua roda), mengambil istilah dari Rivo Pamudji, ternyata lebih unggul jika dibandingkan oleh mobil 4x4 yang juga menyerah saat banjir kemarin.
Kelebihan lainnya adalah kenikmatan yang hanya bisa didapat melalui ‘kacamata’ pesepeda saat di jalan. Bagaimana mereka bisa merasakan nilai sosial yang lebih tentang keadaan di sekitarnya (contoh konkritnya adalah inisiatif B2W bekerja sama dengan Cherokee Arung Jeram yang mendirikan pos pelayanan saat banjir di Jakarta, dan juga mengantarkan logistik atau mengungsikan orang-orang yang sudah terjebak banjir dengan menggunakan perahu karet), baik itu sesama pesepeda maupun dengan keadaan lalu lintas yang semrawut.
Di luar itu, tentu saja sepeda merupakan sarana olahraga yang paling efektif jika kita tidak punya waktu luang. Banyak yang beralasan seperti ini, apalagi ternyata banyak yang bilang kalau capeknya sama dengan mengendarai motor yang sering terjebak macet. Namun sepeda lebih unggul, karena keringat yang keluar adalah positif dan pikiran pun bisa lebih fresh. Sepeda adalah dunia 3G, kata Capunk, yang berarti Gowes, Gaya, dan Gembira. Dan dengan bersepeda, banyak yang mengiyakan kalau biaya pengeluaran keluarga per bulan bisa menjadi berkurang. Hemat dapat, sehat pun diraih, persahabatan semakin bertambah. Luar biasa.
Bagaimana dengan jarak yang jauh? “Jarak bukanlah masalah yang berarti,” jawab Okto yang juga salah seorang penggiat B2W. Karena setelah dijalani, sebenarnya dominasi ‘rasa takut’lah yang membentuk blokade hingga membuat manusia menjadi malas untuk bersepeda. Dan setelah dipaksakan untuk bersepeda, jarak yang jauh pada akhirnya bukan lagi menjadi masalah, tetapi justru masalahnya adalah karena terlalu dekat. Nah loh!?
Kini, anggota B2W sudah lebih dari 3000 orang di seluruh Indonesia. Tetapi itu hanya yang terdata saja di sekretariatnya di daerah Mampang Prapatan, sedangkan yang tidak terdata mungkin bisa lebih dari jumlah yang terdata itu. Toto dan segenap keluarga B2W Indonesia boleh bergembira ria karena perjuangan mereka kini mulai menunjukkan hasil yang signifikan, paling tidak hal ini terbukti dari semakin banyaknya orang yang tertarik menggunakan sepeda. Bahkan berbagai kalangan pun sudah membicarakan kemungkinan untuk membuat jalur sepeda di jalan raya.
“Meskipun masih banyak pro dan kontra, paling tidak sudah ada perhatian kepada para pengguna sepeda,” seru Toto. Pria setengah baya yang masih sangat bugar ini percaya bahwa pengurangan penggunaan kendaraan bermotor akan berdampak besar pada berkurangnya polusi udara di bumi. “Kita ingin membuat lingkungan yang lebih sehat dan nyaman di tempat kita hidup ini. Bahkan untuk ke depannya kita menginginkan lebih dari sekadar bike to work, tapi juga bike to school atau bike to go.”
Mungkin kebanyakan dari kita berpikir jauh-jauh untuk mengendarai sepeda di jalan raya, terutama Jakarta, yang begitu padat dan ramai. “Naik mobil aja sering ketabrak, apalagi naik sepeda? Kalau ketabrak, langsung kena badan tuh…,” ujar salah seorang yang pesimis. Uti, salah seorang wanita pesepeda yang juga menjadi humas B2W Indonesia mengatakan bahwa segala kecemasan itu pasti ada. “Tapi jangan khawatir, karena dalam komunitas ini kita bisa berbagi segala macam kesulitan. Mulai dari bagaimana memilih sepeda yang baik, bagaimana tips dan trik menghadapi kendaraan bermotor yang begitu ganas di jalan raya, bagaimana merawat sepeda, termasuk mencari tempat parkir yang aman.”
B2W mempunya banyak sekali kegiatan bersama. Secara rutin mereka berkumpul paling tidak seminggu sekali di titik-titik strategis, biasanya hari Jum’at pagi atau Jum’at sore sepulang kantor. Setelah berkumpul, mereka konvoy sepeda bersama mencari makan (kuliner) atau sekadar mengantarkan rombongan lain ke daerahnya. Selain itu, B2W juga mempunyai event-event besar seperti fun bike, konvoy akbar, pameran mountain bike, dan sebagainya.
Kampanye B2W terus berkelanjutan melalu website, milis, dan blog-blog anggotanya di internet. Bukan secara teori saja, karena mereka semua juga masuk dalam tataran praktik kendati hanya sekali dalam seminggu (bahkan ada yang sudah tiap hari bersepeda). Hal ini dibuktikan dengan mulai tertariknya jajaran pejabat dan juga sampai ke kantor kepresidenan. Pada Jum’at pagi, 24 November 2006, Andi Mallarangeng dan Menristek pun ikut-ikutan bersepeda dari rumah ke kantor, didampingi oleh ratusan anggota B2W.
“Naik sepeda ke tempat kerja harus dieskpos, sebab ide ini sangat bagus diterapkan di kota besar seperti Jakarta,” terang Andi dengan keringat yang masih bercucuran saat ditemui di Kantor Sekretariat Negara. “Apalagi polusi sekarang ini makin tinggi dan macet luar biasa,” imbuhnya yang mengayuh sepeda dari rumahnya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, yang menempuh jarak 40 km untuk sampai ke kantornya. Awalnya ia memperkirakan akan menempuh perjalanan selama 2 jam, namun dengan kecepatan 29-30 km/jam, ia berhasil mempersingkat waktu selama 30 menit.
Jubir kepresidenan dan Menristek saja mampu, kendati mereka sudah terbiasa dengan mobil ber-AC, lalu bagaimana dengan kita?
“Pak SBY nggak percaya loh kalau saya bakal sampai (kantor),” kata Andi Mallarangeng sambil tertawa setelah ia tiba di kantornya.
http://aswi.multiply.com/journal/item/22/Selayang_Pandang_Bike_to_Work_B2W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar