Senin, 15 September 2008

Saleh dan Sepeda

Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh yang juga pesepeda.
Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis
mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.

Saleh pertama di Kampung Sawah, orang Betawi campuran Arab. Ia saleh,
semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling
dengan bersepeda onthel meskipun bukan pada malam gilirannya. Ia
selalu cekatan memberi senyum kepada setiap orang yang dijumpainya.
Alasannya : "senyum itu sedekah, pahala sekaligus ibadah".

"Saya suka naik sepeda karena dengan sepeda saya bisa lebih sehat dan
membumi bergaul dengan orang-orang bersahaja," katanya kepada saya
waktu gowes bareng di jalan suatu hari.

Walaupun lebih sering sendiri ia bersepeda kemana-mana, tapi
kesederhanaan dan keriangannya selalu ia bawa terus dan ia tularkan
kepada pesepeda siapapun yang ditemuinya.

Orang kedua, Haji Soleh Hoedoyo, orang Jawa, terpandang dan makmur
hidupnya. Tapi ia juga saleh dalam arti sebenarnya. Kepada anak kecil,
ia sayang. Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik
pada saat shalat tarawih berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar
anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu
kali kepala diusap, ribut tetap jalan.

"Ramai itu baik saja," katanya sabar, ketika orang-orang lain mulai
gusar. "Karena ramai tanda kehidupan," katanya lagi. "Lagipula, kita
harus bisa shalat khusyuk dalam keramaian itu." Mungkin ia benar.
Buktinya ia betah berjam-jam zikir di masjid sampai kepalanya
terangguk-angguk. Makanya agak sulit menemui orang Jawa ini karena
ibadahnya di masjid begitu padat.

Hobinyapun tergolong unik untuk orang sesaleh dia, berolahraga sepeda
gunung. Pernah saya berdiskusi dengan beliau di suatu acara bersepeda.
Katanya,"Hidup itu bagaikan naik sepeda, kita harus pandai-pandai
menjaga keseimbangan untuk maju terus. Kadang ada di atas, kadang di
bawah persis putaran pedal sepeda, serupa dengan siklus kehidupan."
Lanjutnya lagi," keseimbangannya adalah antara rohani dan duniawi.
Untuk mendapatkan sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan seluruh
waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari
buat hidup kekal abadi di surga?"

Sepedanyapun tergolong mutakhir dan selalu mengikuti perkembangan
teknologi terbaru. Di kalangan pesepeda gunung, ia disegani karena
ke-haji-annya dan komentar-komentarnya yang panjang lebar mengenai apa
saja walau terkadang kedengarannya subyektif, kurang peka dan menggurui.

Para tetanggapun menaruh hormat padanya. Banyak pula yang
menjadikannya panutan dan idola. Namun, ia pun punya kekurangan.
Pertama kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk menjadi imam, ia
tersinggung. Kedua, kalau orang tak sering "sowan" ke rumahnya, ia
tidak suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari
eksistensinya sebagai orang yang ada di "depan".

Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin menjadi tokoh ?
Hanya Tuhan dan ia yang tahu.

Saya membandingkannya dengan orang saleh yang ketiga. Ia juga haji,
pedagang kecil, petani kecil dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya
bukan Saleh melainkan Sanip. Haji Sanip, orang Betawi asli.

Sehari-hari selalu naik sepeda seadanya kalau pergi ke pasar ataupun
sawah. 2 anaknya, laki-laki dan perempuan disuruhnya setiap hari naik
sepeda ke sekolah, sambil sesekali ia kawal. "Biar menggelinding
belajar lebih merakyat, sabar dan rendah hati," katanya lagi. Meskipun
anak-anaknya selalu merengek minta dibelikan motor, tak sekalipun ia
gubris.

"Punya sepeda itu kan fungsinya sebagai alat transportasi dan juga
sebagai penunjang kesehatan. Ya buat apa sih, sepeda pake gaya
model-model segala, yang menarik perhatian orang, tapi nggak pernah
dipake ?" katanya menjelaskan waktu berbincang-bincang dengan saya.

Meskipun ibadahnya di masjid tak seperti Haji Soleh, kita bisa
merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa shalatnya
sebentar dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun)
? Ia bilang bahwa ia tidak ingin minta aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.

"Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah Ia berjanji
akan mengabulkannya ?"

"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari
ke hari meminta berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang maha
pemberi, termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan,
mengapa rasa malu-Nya tak kita gunakan ?" katanya lagi.

Saya bergetar mendengar perkataannya dan saya merasa malu hari itu.
Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali dan orang-orang suci – langsung
di bawah komando Allah – seperti serentak mengamini ucapan orang
Betawi ini.

"Perhatikan, banyak yang minta kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki,
naik gaji, naik pangkat, buang jauh-jauh kemiskinan. Mereka pikir
Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita
puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah, tapi
dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita
sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah
karena memang kecintaan kita kepada Allah, seperti tekad Al Adawiah
itu," katanya lagi.

Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Wajah yang
mulai menampakkan ketuaan ini terpancar keluhuran batin dan keluhuran
iman. Kepada saya, Haji Sanip seperti menyodorkan sebuah cermin.
Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri
sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa
sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian
hangat dari hidup pribadi saya juga.


(sumber : Kang Sejo Melihat Tuhan – Mohammad Sobary)

Tidak ada komentar: