Senin, 15 September 2008

Bersepeda di Berbagai Negara

New York adalah kota terpadat dari segi lalu-lintas. Boleh dibilang kemacetan adalah kejadian sehari-hari yang tidak perlu diceritakan lagi. Sebagai salah satu kota dari negara maju, mereka pun ternyata tidak menganaktirikan sepeda. Bahkan bikeline atau jalur sepeda pun sudah disediakan. Namun hal ini tidak bisa dijadikan patokan kalau pesepeda di sana sudah dimanjakan. Hampir semua warganya mengatakan kalau bersepeda di Kota New York adalah tindakan bunuh diri. Perlu keberanian yang luar biasa untuk menembus kepadatan lalu-lintas di kota besar itu dengan sepeda.
Loh, ada apa sebenarnya? Pemerintah New York pun akhirnya mengadakan studi banding tentang jalur sepeda ke beberapa kota dunia seperti Koppenhagen, Paris, Amsterdam, Bogota, dan semacamnya. Akhirnya mereka pun mengetahui kalau jalur sepeda di New York salah dalam tata letaknya. Mereka meletakkan jalur sepeda di antara tempat parkir dan jalan raya, sehingga jalur sepeda itu kebanyakan habis untuk tempat parkir dan para pesepeda pun tetap berjuang keras di tengah-tengah jalan raya yang padat. Sementara di kota-kota lain yang dijadikan studi banding, jalur sepeda ditempatkan di antara pedestrian dan tempat parkir. Bahkan antara jalur sepeda dan tempat parkir pun di sediakan pembatas yang aman (sementara di Bogota, pembatas yang dipakai juga ditanami beberapa tanaman yang indah dan menarik). [Lihat juga "Kabayan Melancong ke Bogota"]
Bogota adalah ibukota Kolombia, yang berada di Amerika Selatan atau lebih dikenal dengan Amerika Latin. Dengan jumlah penduduk sekira tujuh juta jiwa, Bogota bukan hanya terkenal sebagai kota narkoba, tetapi juga terkenal dengan korupsi para pejabatnya, penculikan, dan tindak kejahatan lainnya yang tidak kalah seram. Tapi itu dulu. Kini Bogota sudah berbeda. Bogota sudah menjadi kota yang lebih baik lagi.
Semuanya berawal pada tahun 1995 saat Bogota dipimpin oleh walikota bernama Antanus Mockus. Ia yang juga merupakan guru besar Matematika Universitas Columbia, berjanji akan mengubah kebiasaan masyarakat Bogota menjadi lebih baik lagi. Janji tersebut kemudian diteruskan dan berusaha diimplementasikan oleh Enrique Penalosa saat terpilih menjadi walikota pada tahun 1998.
Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai eksport dan politik yang tidak stabil. Jika dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya.
Segalanya memang butuh proses. Saat Enrique terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik dibangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan. Tujuannya cuma satu, yaitu kesejahteraan.
Banyak yang tidak memahami bahwa ciri kota yang sakit adalah banyaknya mal-mal yang berdiri karena pembangunan mal dipastikan telah memangkas ruang publik. “Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan perkapita atau kemajuan teknologinya,” ujar Enrique saat mengunjungi Jakarta. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New York, London dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang publik seperti jalan dan taman kota. Di mana semua orang memiliki hak yang sama. Pembangunan mal hanya menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mal hanya mencegah orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti jalan-jalan dan taman-taman yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai mobil seharga 20 ribu dolar.
Enrique pun mengawalinya dengan memberlakukan pelarangan penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya atau car free day pada Desember 1999 dan memaksa jutaan orang untuk menikmati lampu-lampu natal dari sepeda atau berjalan kaki dengan aman. Langkah berikutnya adalah menerapkan hari bebas kendaraan pada setiap hari kerja. Tidak mudah, karena banyak pula yang menyebut dirinya komunis terutama beberapa pengusaha dan orang kaya. Mereka berusaha untuk menggagalkan usahanya itu. Enrique berkata pada mereka, bahwa ia akan membatalkan kebijakan car free day jika memperoleh suara kurang dari 60% dan mereka setuju. Dan memang pada akhirnya 61% menyetujuinya. Enrique pun juga membuat Transmilenio, yaitu sebuah sistem transportasi baru dalam mengelola angkutan umum atau disebut juga dengan Bus Rapid Transit.
Pada saat car free day diberlakukan, tepatnya pada tanggal 24 Februari 2000 di mana satu setengah juta penduduk melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda, ternyata aktivitas pendidikan dan perekonomian sama sekali tidak terganggu seperti yang dibayangkan sebelumnya. Akhirnya, pada referendum kedua di bulan Oktober 2000, 70% suara menginginkan dilanjutkannya program car free day, bahkan 51% mendukung agar program itu dilakukan setiap hari selama 6 jam.
Untuk melakukan perubahan besar itu, dananya diperoleh dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di perkotaan. Semua perubahan itu bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama. Saat ini tarifnya hanya 900 pesos yang kalau disetarakan dengan mata uang Indonesia, mungkin hanya sekira Rp.3000 saja. Dengan uang sebesar itu, kita sudah bisa berkeliling Bogota.
Bogota telah membangun 374 km jalan sepeda yang terintegrasi dalam jaringan yang dikenal dengan nama Cyclorrutas, kendati baru terealisasi 270 km. Banyak warganya yang mengatakan, Bogota memang tidak memiliki pantai, tetapi dia memiliki jalur sepeda. Jalur sepeda ini diklaim yang terpanjang di dunia. Coba bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang panjangnya 43 km. Bogota ingin menjadi kota yang humanis atau ciudad humana. Jadi sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki dimanjakan. Enrique ingin membuat Bogota menjadi kota yang layak huni, dan ternyata ini bukanlah mimpi. Ia bisa mewujudkannya. Bogota telah mempunyai prasarana pejalan kaki yang luas, prasarana rute sepeda yang baik dan panjang, serta prasarana dan sarana angkutan umum yang handal.
Banyak orang yang menilai kalau sepeda adalah kendaraan untuk orang miskin atau kalangan menengah ke bawah, terutama di negara-negara berkembang. Tetapi kenyataannya banyak pengendara sepeda di beberapa kota besar termasuk di Bogota adalah orang-orang yang mampu, bahkan boleh dibilang orang-orang kaya. Kepedulian mereka terhadap lingkunganlah yang membuat mereka beralih dari kendaraan bermotor ke kendaraan non-motor. Kendaraan bermotor mulai dirasakan dampak buruknya, yaitu menimbulkan polusi udara dan suara, kemacetan di jalanan, memboroskan BBM, dan menyumbang tinggi terjadinya kecelakaan lalu lintas. Jika hal ini terus berkelanjutan, akibatnya dapat kita rasakan bersama, yaitu BBM untuk generasi mendatang cepat habis, polusi udara sangat tinggi, waktu maupun BBM banyak terbuang sia-sia di jalan karena kemacetan. Dan buktinya, sudah kita ketahui bersama bahwa BBM hampir tiap tahun terus mengalami kenaikan harga. Karena itulah naik sepeda merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dan efisien untuk menghemat energi. Hal ini mengingat sepeda tidak menggunakan BBM sama sekali dan dapat dimiliki oleh semua golongan.
Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan. Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota, sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14 persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.
Lajur pedestrian dan sepeda di Bogota telah menjadi bagian penting dari akses lalu lintas. Jalur-jalur pedestrian dan sepeda itu bahkan menembus berbagai kawasan dan permukiman Bogota. Mereka membuat beberapa regulasi yang berkaitan dengan ini. Setiap hari Minggu misalnya, jalan raya dijadikan jalur khusus sepeda yang dikenal sebagai Ciclovias. Jalan itu tertutup untuk angkutan bermotor dan hanya diperbolehkan untuk pedestrian, pesepeda atau peseluncur dengan sepatu roda atau skateboard. Kegiatan ini telah diikuti oleh dua juta orang dan mereka yakin kalau jumlah ini adalah yang terbesar dalam gerakan bebas berkendaraan bermotor di dunia. Kegiatan ini melibatkan seluruh komponen masyarakat. Tua muda, bahkan anak-anak, banyak yang bersepeda, termasuk juga ada yang sembari mengasuh anak balitanya dengan menggunakan sepatu roda atau sepeda mini. Mereka sangat menikmati kegiatan bebas kendaraan bermotor ini.
Warung-warung minum atau makanan ringan, bengkel sepeda sementara sepanjang jalan sepeda, yang hanya buka saat kegiatan itu berlangsung, siap menerima para pengayuh sepeda yang ingin melepas lelah. Begitu juga bengkel sepeda dadakan siap menerima reparasi ringan sepeda warga. Para sukarelawan Ciclovias pun selalu sedia membantu walau hanya untuk mengarahkan jalan atau menghentikan kendaraan bermotor yang akan melintas demi kenyamanan para pejalan kaki atau pesepeda. Untuk mengkampanyekan hal itu, sudah pasti beberapa artis Kolombia diajak untuk turut serta. Dan ternyata, mereka pun bangga dengan kegiatan itu. Mereka meyakinkan warga bahwa bersepeda itu juga modis. Sarana pendukung seperti toilet, bangku untuk beristirahat, hingga tempat parkir sepeda sudah tersedia di pinggir-pinggir jalan. Jembatan penyeberangan pun dibuat meliuk-liuk agar bersepeda menjadi lebih menyenangkan.

http://aswi.multiply.com/journal/item/22/Selayang_Pandang_Bike_to_Work_B2W

Tidak ada komentar: