Kamis, 18 September 2008
Wife vs Girlfriend
At home watch TV Go out bring HP.
No money, sell TV. Got money change HP.
Sometimes enjoy TV
But most of the time play with HP.
TV free for life
HP, if you don't pay, services terminated
TV is big, bulky and most of the time old
HP is cute, slim,curvy, portable at any time.
Operational cost for TV is often acceptable
HP is high and often demanding,
Most Important, TV got remote.. HP don't have..
Last but not least....... .
TV never get virus, but HP yes......... . have
VIRUS....... ........ once get it, terus KONG (mati from
aids) ....so better choose TV .....:)
Buku Telepon
Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas.
Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan :
"Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia?
Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?"
Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari guru, "Ya,ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu...".
Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid.
"Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu. ...".
Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, "Seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah
motor, persis seperti yang aku impikan selama ini." Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. "Motor sport dengan
lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu!"
Sang guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka,terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir.
Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri.
Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung.
Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah
belakang. "Pak Guru..Pak, aku belum bercerita." Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar.
Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.
"Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua," ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu.
"Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?" Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.
"Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah..saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang
lalu."
Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan
tertawa terbahak mendengar cerita itu.
Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, "Ha? aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa
menyedihkan. ..hahaha. " Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, "Apa tak ada hal besar lain Yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?"
Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan.
"Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak...."
Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. "Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang
baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah.. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi."
Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. "Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah
mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman
modal buat bekerja."
"Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah
rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi."
"Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah
untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di
dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya."
Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. "Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti...
" Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk.
Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan.
Mereka juga belajar satu hal : "Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun. Sebesar apapun.
http://duriz- production. blogspot. com
Kaca Spion
Kaca Spion
oleh Andi F. Noya
Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan
Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari
ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk
baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan.
Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga
suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa
lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya
mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan
dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi
mengapa rasanya jauh berbeda?
Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal
rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya.
Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib
yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya
merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika
masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum
buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang.
Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak
gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna
hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan
sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah
satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya
bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang
Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia
. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus
meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan
Metro TV.
Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di
sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi
menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu
hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan
punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi
sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .. Sejak
kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan
menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya
bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda
milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion
mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer
saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah
saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi
mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap
menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma
enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat
tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di
ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar.
Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah
dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan
mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua
minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada
tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit
itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan hidup
sebulan.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap
akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil
uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu
ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah
artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah
ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik
mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci
orang kaya.
Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya..
Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya.
Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka
adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya
putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu
berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang
terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya
di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal
jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak
punya hati nurani.
Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu
tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah
berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan
kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena
sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.. Dulu
mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang,
apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang
enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat
saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu berhak untuk
itu.. Sebab kamu sudah bekerja keras."
Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama
sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang
kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya
terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak
lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado
yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.
Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak.
Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam
kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika
mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang
dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak
dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin
melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya
terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan
kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi.
Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok..
Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat
itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang
merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang
ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf
atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha
meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera
luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.
Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah
artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan
begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu
saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang
pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup
yang pahit.
Selasa, 16 September 2008
Bunnyhopping
Bunnyhopping, in its simplest terms, is just weight shifting. The techniques used to bunnyhop are the same, whether you go five inches or five feet. You just exaggerate more and more to go higher.
The best way to learn is to start small; try it on a curb or a 2x4 set on your driveway. Don't try to get up the neighborhood two foot high wall on your first attempt. Roll towards the object at a good pace (for a small object try a quick walking speed). Right before you get to the object, you will want to shift your weight back, unweighting the front wheel. When the front has risen high enough to clear the object, quickly shift your weight forward, while pushing forward with your arms. This will have the effect of leveling the bike out in the air, allowing the rear wheel to clear the object. Try to land relatively flat, with the rear wheel hitting first. It's much better to land with the rear first, landing front first will only lead to uncomfortable situations and unwanted endos.
If the object is too large to completely clear, your approach will be slightly different, but the techniques used will be the same. Instead of trying to get all the way over, you need to get high enough that you can land on your bashguard or bashring. Once you hit the object, try to regain your balance with a smll hop or two, and plant your pedal or bashguard to give yourself a break.
If you want to learn more about bunny hop you can use this link http://www.bmxbasics.org/new/bmx0703.html
Enjoy your jump :)
Tips Mempunyai Bentuk Tubuh yang Ramping
Ada dua cara yang wajib ditempuh jika seseorang ingin memiliki bentuk tubuh ramping seperti yang diidamkan, yaitu mengatur pola makan (diet) dan olah raga. Mengatur pola makan bukan berarti kita harus pilih-pilih makanan dan tidak boleh makan makanan tertentu. Banyak orang yang diet sampe-sampe menghindari makan coklat, menghindari kue tart, dan beberapa makanan yang mereka sukai, bahkan ada yang berkata bahwa diet itu harus makan sayur-sayuran dan buah-buahan saja. Itu adalah sebuah paradigma yang salah. Seseorang yang diet tidak melulu harus makan sayur dan buah. Orang yang diet boleh makan coklat, ice cream, kue tart, dan makanan-makanan berkalori tinggi lainnya tetapi porsinya kecil saja.
Jika anda ingin berdiet, ada beberapa tips yang bisa saya share :
1. Jika anda biasa makan 3x sehari, cobalah makan 4-5x sehari dengan porsi yang kecil.
2. Kurangi makan karbohidrat, gula, gorengan, dan minum es.
3. Perbanyak asupan sayur dan buah.
4. Kurangi kebiasaan ngemil, kalau mau ngemil alihkan camilan anda ke buah atau camilan yang sehat dan bergizi.
5. Perhatikan komposisi gizi pada label kemasan yang ada pada makanan jadi. Inti dari diet adalah menjaga agar kalori yang masuk tidak lebih besar dari kalori yang keluar.
Jika anda ingin memiliki tubuh yang ramping, diet saja tidak cukup, anda harus mengimbanginya dengan berolah raga. Banyak orang yang ingin mempunyai tubuh ramping lantas mengikuti fitnes. Setelah mengikuti fitnes memang tubuhnya ramping, tetapi ketika berhenti fitnes tubuhnya kembali melar. Semua olah raga baik, hanya saja akan lebih baik dan bijak jika anda memilih olah raga yang bisa anda jadikan hobi untuk jangka waktu yang lama, misalnya tenis, badminton, bersepeda, dan masih banyak lagi.
Untuk memulai kedua hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Pada awalnya mungkin akan terlihat mudah karena anda sedang bersemangat, tetapi ketika semangat tersebut mulai kendur dapat dipastikan anda akan berhenti total. Ada satu tips jika anda ingin berdiet dan berolah raga untuk jangka waktu yang lama, yaitu mulailah perlahan-lahan. Jika anda terbiasa makan 1 piring nasi, kurangilah jadi 3/4. Jika sudah terbiasa kurangi lagi sesuai keinginan dan kemampuan anda. Jika anda biasa ngemil, kurangi intensitas ngemil anda perlahan-lahan. Jika anda tidak terbiasa mengkonsumsi sayur dan buah, mulailah mengkonsumsinya sedikit demi sedikit. Begitu juga dengan olah raga, mulailah dengan level yang rendah terlebih dahulu, lalu tingkatkan secara bertahap.
Semoga dapat bermanfaat.
Senin, 15 September 2008
Sejarah B2W Indonesia
“Sejak BBM naik, memang banyak yang pindah ke motor. Tapi motor juga kan masih bergantung pada BBM. Kita ingin memperlihatkan sepeda bisa menjadi alternatif transportasi supaya Kota Bandung bersih,” ujar Akhmad Riqqi mengenai alasan mengapa kegiatan itu digaungkan. Apalagi, lanjutnya, ada dua faktor penting yang sangat berkaitan, yaitu akibat kenaikan harga BBM dan juga kesadaran untuk hidup sehat dengan menggunakan alat transportasi yang ramah lingkungan (karena tanpa BBM). Sepeda sebagai moda transportasi pun bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk bersekolah, kuliah, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang berkaitan. Makanya kegiatan ini memakai slogan “Bike to Work, Bike to Campus, Shared the Road”.
Pada acara itu pula tag kuning yang bertuliskan Bike to Work, Bike to Campus, dan juga Shared the Road dibagikan secara gratis pada pesepeda yang hadir. Bike tag itu juga tidak hanya dibagikan tiap Jum’at sore di Cikapayang, tetapi juga dibagikan di mana-mana oleh para pengurusnya ketika bertemu dengan para pesepeda di Bandung sebagai bentuk kampanye yang berkelanjutan. Jadi jangan heran, jika di jalan-jalan akan banyak ditemui beberapa sepeda yang memakai bike tag berwarna kuning tepat di bawah sadelnya.
Boleh dibilang, sebenarnya acara ini juga merupakan perpanjangan dari kampanye Bike to Work (B2W) yang lebih dahulu dicanangkan di Jakarta oleh Komunitas Pekerja Bersepeda Indonesia, tepatnya pada tanggal 4 Agustus 2004 di Plaza Danamon, yang dihadiri oleh 150 pesepeda. Kampanye yang diprakarsai oleh Anton (alm), Abby, Toto, Ozy, Toufik, Devin, dan kawan-kawan lainnya dari Jalur Pipa Gas (JPG) Mountain Bike itu kemudian dilanjutkan pada Bulan Agustus 2005 yang diikuti oleh 600 pesepeda, sekaligus deklarasi pembentukan B2W Indonesia. Tujuannya tidak lain agar memiliki wadah sendiri dengan tujuan yang jelas, dan sudah tentu akan lebih mudah berkembang. Pada akhirnya, kampanye ini pun mengakumulasi pada acara B2W Day di Bundaran HI pada tanggal 25 Agustus 2006 yang dihadiri sekira 1.300 pesepeda dari seluruh wilayah di Jakarta. Kampanye tersebut terbilang sukses karena menarik perhatian seluruh media cetak dan elektronik nasional.
“Mudah-mudahan kita tidak terlalu terlena dan puas,” ujar Toto Sugito yang saat ini adalah Ketua Umum B2W Indonesia, “(karena) masih banyak dan panjang sekali pekerjaan yang harus kita lakukan untuk menjadikan sepeda sebagai alat transportasi alternatif dan juga mewujudkan jalur prioritas sepeda dan fasilitasnya di kota-kota besar pada umumnya dan di Jakarta khususnya. Kesabaran dan konsistensi yang tinggi masih kita butuhkan untuk merealisasikan cita-cita kita.”
Tidak mengherankan jika ia mengungkapkan hal itu, karena sampai saat ini sepeda masih dianggap moda transportasi kelas bawah. Kendati kenyataan itu sudah ditampik dengan beberapa sepeda yang dipakai oleh penggiat B2W yang berharga di kisaran satu sampai lima juta (bahkan ada yang lebih dari sepuluh juta), juga dilihat dari profesi orang-orangnya yang rata-rata adalah eksekutif muda, tetap saja sepeda masih merupakan moda transportasi kelas bawah. Sepeda masih kalah pamor dengan motor atau mobil karena kalah dari segi kecepatan, rawan kecelakaan, tidak tahan polusi, sehingga masih dianaktirikan.
Namun kalau melihat konsep balancing, di mana ada kekurangan berarti masih ada kelebihannya, maka sepeda bagi para pemakainya tetap memiliki kelebihan yang luar biasa di tengah hiruk-pikuknya kendaraan bermotor. Ada yang mengatakan kalau hal ini adalah tantangan dan perjuangan tersendiri yang mengasyikkan, sehingga kelengkapan dalam bersepeda (penggunaan helm, sarung tangan, kacamata, masker, pakaian olahraga, sepatu, krim anti-matahari, dan lain-lain pada akhirnya adalah sesuatu yang wajib dipakai saat bersepeda) pun harus diperhatikan benar. Dan ternyata memang benar, karena banyak yang membuktikan bahwa dengan bersepeda, perjalanan dari rumah ke kantor (kendati jauh sekalipun) jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan kendaraan bermotor mana pun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya titik kemacetan terutama di Jakarta di mana bagi pesepeda bukan merupakan halangan.
Perubahan cuaca yang mendadak pun bukan menjadi halangan. Justru hujan menjadi kesenangan tersendiri bagi pesepeda yang sudah merasakannya. Ada kegembiraan yang hanya dapat dirasakan anak-anak saat hujan-hujanan, hingga pada akhirnya ada istilah ‘bebek-bebekan’ di kalangan B2W yang berarti bersepeda hujan-hujanan. Banjir besar yang pernah melanda Jakarta pun bukan halangan yang berarti bagi para pesepeda, karena mereka pun tetap melanjutkan aktivitasnya kendati jalan-jalan di beberapa titik sudah ditutup karena ketinggian air yang sudah tidak bisa ditolerir oleh kendaraan bermotor. Sepeda sebagai kendaraan 2x2 (dua dengkul dan dua roda), mengambil istilah dari Rivo Pamudji, ternyata lebih unggul jika dibandingkan oleh mobil 4x4 yang juga menyerah saat banjir kemarin.
Kelebihan lainnya adalah kenikmatan yang hanya bisa didapat melalui ‘kacamata’ pesepeda saat di jalan. Bagaimana mereka bisa merasakan nilai sosial yang lebih tentang keadaan di sekitarnya (contoh konkritnya adalah inisiatif B2W bekerja sama dengan Cherokee Arung Jeram yang mendirikan pos pelayanan saat banjir di Jakarta, dan juga mengantarkan logistik atau mengungsikan orang-orang yang sudah terjebak banjir dengan menggunakan perahu karet), baik itu sesama pesepeda maupun dengan keadaan lalu lintas yang semrawut.
Di luar itu, tentu saja sepeda merupakan sarana olahraga yang paling efektif jika kita tidak punya waktu luang. Banyak yang beralasan seperti ini, apalagi ternyata banyak yang bilang kalau capeknya sama dengan mengendarai motor yang sering terjebak macet. Namun sepeda lebih unggul, karena keringat yang keluar adalah positif dan pikiran pun bisa lebih fresh. Sepeda adalah dunia 3G, kata Capunk, yang berarti Gowes, Gaya, dan Gembira. Dan dengan bersepeda, banyak yang mengiyakan kalau biaya pengeluaran keluarga per bulan bisa menjadi berkurang. Hemat dapat, sehat pun diraih, persahabatan semakin bertambah. Luar biasa.
Bagaimana dengan jarak yang jauh? “Jarak bukanlah masalah yang berarti,” jawab Okto yang juga salah seorang penggiat B2W. Karena setelah dijalani, sebenarnya dominasi ‘rasa takut’lah yang membentuk blokade hingga membuat manusia menjadi malas untuk bersepeda. Dan setelah dipaksakan untuk bersepeda, jarak yang jauh pada akhirnya bukan lagi menjadi masalah, tetapi justru masalahnya adalah karena terlalu dekat. Nah loh!?
Kini, anggota B2W sudah lebih dari 3000 orang di seluruh Indonesia. Tetapi itu hanya yang terdata saja di sekretariatnya di daerah Mampang Prapatan, sedangkan yang tidak terdata mungkin bisa lebih dari jumlah yang terdata itu. Toto dan segenap keluarga B2W Indonesia boleh bergembira ria karena perjuangan mereka kini mulai menunjukkan hasil yang signifikan, paling tidak hal ini terbukti dari semakin banyaknya orang yang tertarik menggunakan sepeda. Bahkan berbagai kalangan pun sudah membicarakan kemungkinan untuk membuat jalur sepeda di jalan raya.
“Meskipun masih banyak pro dan kontra, paling tidak sudah ada perhatian kepada para pengguna sepeda,” seru Toto. Pria setengah baya yang masih sangat bugar ini percaya bahwa pengurangan penggunaan kendaraan bermotor akan berdampak besar pada berkurangnya polusi udara di bumi. “Kita ingin membuat lingkungan yang lebih sehat dan nyaman di tempat kita hidup ini. Bahkan untuk ke depannya kita menginginkan lebih dari sekadar bike to work, tapi juga bike to school atau bike to go.”
Mungkin kebanyakan dari kita berpikir jauh-jauh untuk mengendarai sepeda di jalan raya, terutama Jakarta, yang begitu padat dan ramai. “Naik mobil aja sering ketabrak, apalagi naik sepeda? Kalau ketabrak, langsung kena badan tuh…,” ujar salah seorang yang pesimis. Uti, salah seorang wanita pesepeda yang juga menjadi humas B2W Indonesia mengatakan bahwa segala kecemasan itu pasti ada. “Tapi jangan khawatir, karena dalam komunitas ini kita bisa berbagi segala macam kesulitan. Mulai dari bagaimana memilih sepeda yang baik, bagaimana tips dan trik menghadapi kendaraan bermotor yang begitu ganas di jalan raya, bagaimana merawat sepeda, termasuk mencari tempat parkir yang aman.”
B2W mempunya banyak sekali kegiatan bersama. Secara rutin mereka berkumpul paling tidak seminggu sekali di titik-titik strategis, biasanya hari Jum’at pagi atau Jum’at sore sepulang kantor. Setelah berkumpul, mereka konvoy sepeda bersama mencari makan (kuliner) atau sekadar mengantarkan rombongan lain ke daerahnya. Selain itu, B2W juga mempunyai event-event besar seperti fun bike, konvoy akbar, pameran mountain bike, dan sebagainya.
Kampanye B2W terus berkelanjutan melalu website, milis, dan blog-blog anggotanya di internet. Bukan secara teori saja, karena mereka semua juga masuk dalam tataran praktik kendati hanya sekali dalam seminggu (bahkan ada yang sudah tiap hari bersepeda). Hal ini dibuktikan dengan mulai tertariknya jajaran pejabat dan juga sampai ke kantor kepresidenan. Pada Jum’at pagi, 24 November 2006, Andi Mallarangeng dan Menristek pun ikut-ikutan bersepeda dari rumah ke kantor, didampingi oleh ratusan anggota B2W.
“Naik sepeda ke tempat kerja harus dieskpos, sebab ide ini sangat bagus diterapkan di kota besar seperti Jakarta,” terang Andi dengan keringat yang masih bercucuran saat ditemui di Kantor Sekretariat Negara. “Apalagi polusi sekarang ini makin tinggi dan macet luar biasa,” imbuhnya yang mengayuh sepeda dari rumahnya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, yang menempuh jarak 40 km untuk sampai ke kantornya. Awalnya ia memperkirakan akan menempuh perjalanan selama 2 jam, namun dengan kecepatan 29-30 km/jam, ia berhasil mempersingkat waktu selama 30 menit.
Jubir kepresidenan dan Menristek saja mampu, kendati mereka sudah terbiasa dengan mobil ber-AC, lalu bagaimana dengan kita?
“Pak SBY nggak percaya loh kalau saya bakal sampai (kantor),” kata Andi Mallarangeng sambil tertawa setelah ia tiba di kantornya.
http://aswi.multiply.com/journal/item/22/Selayang_Pandang_Bike_to_Work_B2W
Bersepeda di Berbagai Negara
Loh, ada apa sebenarnya? Pemerintah New York pun akhirnya mengadakan studi banding tentang jalur sepeda ke beberapa kota dunia seperti Koppenhagen, Paris, Amsterdam, Bogota, dan semacamnya. Akhirnya mereka pun mengetahui kalau jalur sepeda di New York salah dalam tata letaknya. Mereka meletakkan jalur sepeda di antara tempat parkir dan jalan raya, sehingga jalur sepeda itu kebanyakan habis untuk tempat parkir dan para pesepeda pun tetap berjuang keras di tengah-tengah jalan raya yang padat. Sementara di kota-kota lain yang dijadikan studi banding, jalur sepeda ditempatkan di antara pedestrian dan tempat parkir. Bahkan antara jalur sepeda dan tempat parkir pun di sediakan pembatas yang aman (sementara di Bogota, pembatas yang dipakai juga ditanami beberapa tanaman yang indah dan menarik). [Lihat juga "Kabayan Melancong ke Bogota"]
Bogota adalah ibukota Kolombia, yang berada di Amerika Selatan atau lebih dikenal dengan Amerika Latin. Dengan jumlah penduduk sekira tujuh juta jiwa, Bogota bukan hanya terkenal sebagai kota narkoba, tetapi juga terkenal dengan korupsi para pejabatnya, penculikan, dan tindak kejahatan lainnya yang tidak kalah seram. Tapi itu dulu. Kini Bogota sudah berbeda. Bogota sudah menjadi kota yang lebih baik lagi.
Semuanya berawal pada tahun 1995 saat Bogota dipimpin oleh walikota bernama Antanus Mockus. Ia yang juga merupakan guru besar Matematika Universitas Columbia, berjanji akan mengubah kebiasaan masyarakat Bogota menjadi lebih baik lagi. Janji tersebut kemudian diteruskan dan berusaha diimplementasikan oleh Enrique Penalosa saat terpilih menjadi walikota pada tahun 1998.
Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai eksport dan politik yang tidak stabil. Jika dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya.
Segalanya memang butuh proses. Saat Enrique terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik dibangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan. Tujuannya cuma satu, yaitu kesejahteraan.
Banyak yang tidak memahami bahwa ciri kota yang sakit adalah banyaknya mal-mal yang berdiri karena pembangunan mal dipastikan telah memangkas ruang publik. “Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan perkapita atau kemajuan teknologinya,” ujar Enrique saat mengunjungi Jakarta. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New York, London dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang publik seperti jalan dan taman kota. Di mana semua orang memiliki hak yang sama. Pembangunan mal hanya menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mal hanya mencegah orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti jalan-jalan dan taman-taman yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai mobil seharga 20 ribu dolar.
Enrique pun mengawalinya dengan memberlakukan pelarangan penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya atau car free day pada Desember 1999 dan memaksa jutaan orang untuk menikmati lampu-lampu natal dari sepeda atau berjalan kaki dengan aman. Langkah berikutnya adalah menerapkan hari bebas kendaraan pada setiap hari kerja. Tidak mudah, karena banyak pula yang menyebut dirinya komunis terutama beberapa pengusaha dan orang kaya. Mereka berusaha untuk menggagalkan usahanya itu. Enrique berkata pada mereka, bahwa ia akan membatalkan kebijakan car free day jika memperoleh suara kurang dari 60% dan mereka setuju. Dan memang pada akhirnya 61% menyetujuinya. Enrique pun juga membuat Transmilenio, yaitu sebuah sistem transportasi baru dalam mengelola angkutan umum atau disebut juga dengan Bus Rapid Transit.
Pada saat car free day diberlakukan, tepatnya pada tanggal 24 Februari 2000 di mana satu setengah juta penduduk melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda, ternyata aktivitas pendidikan dan perekonomian sama sekali tidak terganggu seperti yang dibayangkan sebelumnya. Akhirnya, pada referendum kedua di bulan Oktober 2000, 70% suara menginginkan dilanjutkannya program car free day, bahkan 51% mendukung agar program itu dilakukan setiap hari selama 6 jam.
Untuk melakukan perubahan besar itu, dananya diperoleh dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di perkotaan. Semua perubahan itu bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama. Saat ini tarifnya hanya 900 pesos yang kalau disetarakan dengan mata uang Indonesia, mungkin hanya sekira Rp.3000 saja. Dengan uang sebesar itu, kita sudah bisa berkeliling Bogota.
Bogota telah membangun 374 km jalan sepeda yang terintegrasi dalam jaringan yang dikenal dengan nama Cyclorrutas, kendati baru terealisasi 270 km. Banyak warganya yang mengatakan, Bogota memang tidak memiliki pantai, tetapi dia memiliki jalur sepeda. Jalur sepeda ini diklaim yang terpanjang di dunia. Coba bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang panjangnya 43 km. Bogota ingin menjadi kota yang humanis atau ciudad humana. Jadi sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki dimanjakan. Enrique ingin membuat Bogota menjadi kota yang layak huni, dan ternyata ini bukanlah mimpi. Ia bisa mewujudkannya. Bogota telah mempunyai prasarana pejalan kaki yang luas, prasarana rute sepeda yang baik dan panjang, serta prasarana dan sarana angkutan umum yang handal.
Banyak orang yang menilai kalau sepeda adalah kendaraan untuk orang miskin atau kalangan menengah ke bawah, terutama di negara-negara berkembang. Tetapi kenyataannya banyak pengendara sepeda di beberapa kota besar termasuk di Bogota adalah orang-orang yang mampu, bahkan boleh dibilang orang-orang kaya. Kepedulian mereka terhadap lingkunganlah yang membuat mereka beralih dari kendaraan bermotor ke kendaraan non-motor. Kendaraan bermotor mulai dirasakan dampak buruknya, yaitu menimbulkan polusi udara dan suara, kemacetan di jalanan, memboroskan BBM, dan menyumbang tinggi terjadinya kecelakaan lalu lintas. Jika hal ini terus berkelanjutan, akibatnya dapat kita rasakan bersama, yaitu BBM untuk generasi mendatang cepat habis, polusi udara sangat tinggi, waktu maupun BBM banyak terbuang sia-sia di jalan karena kemacetan. Dan buktinya, sudah kita ketahui bersama bahwa BBM hampir tiap tahun terus mengalami kenaikan harga. Karena itulah naik sepeda merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dan efisien untuk menghemat energi. Hal ini mengingat sepeda tidak menggunakan BBM sama sekali dan dapat dimiliki oleh semua golongan.
Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan. Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota, sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14 persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.
Lajur pedestrian dan sepeda di Bogota telah menjadi bagian penting dari akses lalu lintas. Jalur-jalur pedestrian dan sepeda itu bahkan menembus berbagai kawasan dan permukiman Bogota. Mereka membuat beberapa regulasi yang berkaitan dengan ini. Setiap hari Minggu misalnya, jalan raya dijadikan jalur khusus sepeda yang dikenal sebagai Ciclovias. Jalan itu tertutup untuk angkutan bermotor dan hanya diperbolehkan untuk pedestrian, pesepeda atau peseluncur dengan sepatu roda atau skateboard. Kegiatan ini telah diikuti oleh dua juta orang dan mereka yakin kalau jumlah ini adalah yang terbesar dalam gerakan bebas berkendaraan bermotor di dunia. Kegiatan ini melibatkan seluruh komponen masyarakat. Tua muda, bahkan anak-anak, banyak yang bersepeda, termasuk juga ada yang sembari mengasuh anak balitanya dengan menggunakan sepatu roda atau sepeda mini. Mereka sangat menikmati kegiatan bebas kendaraan bermotor ini.
Warung-warung minum atau makanan ringan, bengkel sepeda sementara sepanjang jalan sepeda, yang hanya buka saat kegiatan itu berlangsung, siap menerima para pengayuh sepeda yang ingin melepas lelah. Begitu juga bengkel sepeda dadakan siap menerima reparasi ringan sepeda warga. Para sukarelawan Ciclovias pun selalu sedia membantu walau hanya untuk mengarahkan jalan atau menghentikan kendaraan bermotor yang akan melintas demi kenyamanan para pejalan kaki atau pesepeda. Untuk mengkampanyekan hal itu, sudah pasti beberapa artis Kolombia diajak untuk turut serta. Dan ternyata, mereka pun bangga dengan kegiatan itu. Mereka meyakinkan warga bahwa bersepeda itu juga modis. Sarana pendukung seperti toilet, bangku untuk beristirahat, hingga tempat parkir sepeda sudah tersedia di pinggir-pinggir jalan. Jembatan penyeberangan pun dibuat meliuk-liuk agar bersepeda menjadi lebih menyenangkan.
http://aswi.multiply.com/journal/item/22/Selayang_Pandang_Bike_to_Work_B2W